Kamis, 05 Mei 2011

Apa sih Carok itu???

Carok merupakan tradisi pembunuhan disebabkan karena alasan tertentu yang berhubungan dengan harga diri kemudian diikuti antar kelompok atau antar klan dengan menggunakan senjata (biasanya celurit). Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena carok merupakan tindakan yang dianggap negatif dan kriminal serta melanggar hukum. Ini merupakan cara suku Madura dalam mempertahankan harga diri dan "keluar" dari masalah yang pelik. 

Orang madura memang memiliki karakteristik sosial budaya (sosbud) khas yang dalam banyak hal tidak dapat disamakan dengan karakteristik sosbud masyarakat etnik lain. Suatu realitas yang tidak perlu dipungkiri bahwa karakteristik sosbud Madura cenderung dilihat orang luar lebih pada sisi yang negatif.

Pandangan itu berangkat dari anggapan bahwa karakteristik (sikap dan perilaku) masyarakat Madura itu mudah tersinggung, gampang curiga pada orang lain, tempramental atau gampang marah, pendendam serta suka melakukan tindakan kekerasan. Bahkan, bila orang Madura dipermalukan, seketika itu juga ia akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukan tindakan balasan.

Semua itu, tidak lebih dari suatu gambaran stereotip belaka. Sebab, kenyataannya, salah satu karakteristik sosok Madura yang menonjol adalah karakter yang apa adanya. Artinya, sifat masyarakat etnik ini memang ekspresif, spontan, dan terbuka. Ekspresivitas, spontanitas, dan keterbukaan orang Madura, senantiasa termanifestasikan ketika harus merespon segala sesuatu yang dihadapi, khususnya terhadap perlakuan orang lain atas dirinya. Misalnya, jika perlakuan itu membuat hati senang, maka secara terus terang tanpa basa-basi, mereka akan mengungkapkan rasa terima kasihnya seketika itu juga. Tetapi sebaliknya, mereka akan spontan bereaksi keras bila perlakuan terhadap dirinya dianggap tidak adil dan menyakitkan hati.

Contohnya, suatu ketika di atas kapal feri penyeberangan dari Kamal ke Ujung, Tanjung Perak, ada seorang Madura sedang merokok di dalam ruangan ber-AC. Oleh orang lain, ia ditegur. Apakah orang Madura yang ditegur itu berang? Ternyata tidak. Spontan ia mematikan rokoknya yang masih cukup panjang dan dengan keterbukaan ia pun mengaku tidak tahu kalau ada rambu dilarang merokok. Nyo-on maaf, sengko' ta' oneng, (Minta maaf, saya tidak tahu, Red), katanya dengan ekspresi yang lugu. Ada pula anekdot yang lucu dan lugu. Misalnya, ketika seorang abang becak asal Madura berurusan dengan polisi, ia dikatakan goblok karena melanggar aturan lalu lintas. Tetapi, petugas itu pun akhirnya tertawa karena mendapat jawaban si abang becak seperti ini, Wah Pak Polisi ini bagaimana, kalau saya pinter, ya ndak mbecak. Tak iya ...

Dalam konteks ini berarti bahwa nilai-nilai sosbud Madura membuka peluang bagi ekspresi individual secara lebih transparan. Bahkan, secara sosial pun setiap individu tidak ditabukan untuk mengungkapkan perasaan, keinginan atau kehendaknya. Bila kita hendak memahami persepsi, visi, maupun apresiasi, terhadap sosok Madura, masyarakat dan nilai-nilai sosbudnya, hasilnya akan menjadi lebih proporsional dan lebih objektif. Pengungkapan perasaan, keinginan, kehendak, dan semacamnya, akan makin memperlihatkan sosok Madura asli bila menyangkut masalah harga diri. Karena, bagi orang Madura, harga diri memiliki makna dimensi sosio-kultural yang berkaitan erat dengan posisi dirinya dalam struktur sosial. Posisi sosio-kultural ini menentukan status serta peran-peran diri orang Madura dalam kehidupan masyarakat. Kapasitas diri ini juga mencakup berbagai jenis dimensi lain -pada tingkat praktis - tidak cukup hanya disadari oleh yang bersangkutan.

Dalam kaitan ini, pelecehan terhadap harga diri akan diartikan sekaligus sebagai penghinaan terhadap kapasitas diri. Jika hal ini ini benar-benar terjadi, orang Madura akan merasa tada' ajina (seperti manusia yang tak bermakna apa-apa, Red). Yang pada gilirannya muncul perasaan malu, baik pada dirinya sendiri maupun pada lingkungan sosbud mereka. Karena perasaan seperti itu, terlahir kondisi psiko-kultural serta ekspresi reaktif secara spontan, baik pada tingkatan individualmaupun kolektif (keluarga, kampung, desa atau kesukuan). (fery/imamkusnin)

Tak Mau Dilecehkan dan Dipermalukan 
Cara orang Madura merespon amarah biasanya berupa tindakan resistensi yang cenderung keras. Keputusan perlu tidaknya menggunakan kekerasan fisik dalam tindakan resistensi ini sangat tergantungpada tingkat pelecehan yang mereka rasakan.

Pada tingkat ekstrim, jika perlu mereka bersedia mengorbankan nyawa. Sikap dan perilaku ini tercermin dalam sebuah ungkapan: Ango'an apoteya tolang, etembhang apote mata (artinya, kematian lebih dikehendaki daripada harus hidup dengan menanggung perasaan malu). Sebaliknya, jika harga diri orang Madura dihargai sebagaimana mestinya, sudah dapat dipastikan mereka akan menunjukkan sikap dan perilaku andhap asor.

Mereka akan amat ramah, sopan, hormat dan rendah hati. Bahkan, secara kualitatif tidak jarang justru bisa lebih dari pada itu. Contohnya, ada ungkapan, oreng daddi taretan (artinya, orang lain yang tidak punya hubungan apa-apa akan diperlakukan layaknya saudara sendiri). Suatu sikap dan perilaku kultural yang selama ini kurang dipahami oleh orang luar.

Jadi, soal carok itu bukanlah suatu kebiasaan atau budaya struktural. Sebab,belum tentu seorang yang dulu jagoan dan dikenal suka carok, lalu turunannya otomatis juga carok. Yang jelas, carok itu lebih didominasi pada masalah harga diri. Misalnya,menyangkut soal pagar ayu.

Carok itu bisa terjadi kepada siapa saja. Artinya, meski carok itu bukanlah tradisi atau menganut garis turunan, tapi kalau menyangkut harga diri, martabat keluarga yang dilecehkan, maka carok bisa jadi cara terbaik untuk menyelesaikan. Contohnya, ada satu keluarga yang tidak carok, namun suatu ketika kepala keluarga itu tewas gara-gara dicarok. Hampir bisa dipastikan sang anak ketika kejadian masih kecil, pada saat dewasa akan melakukan perhitungan dengan si pembunuh orang tuanya.

Apa yang dilakukan si anak yang sudah dewasa itu bukanlah sikap balas dendam. Tetapi, merupakan pembelaan atas nama keluarga. Hal seperti ini bisa terjadi sampai mengakar. Karena itu, jangan heran, kalau mendengar cerita carok yang terjadi antar keluarga secara berkepanjangan. Hal seperti itu pernah terjadi beberapa waktu lalu, yang sampai melibatkan antar keluarga dan kampung. Bahkan untuk mendamaikan, agar tak terjadi carok massal, Pak Noer - H Mohammad Noer, mantan Gubernur Jatim yang juga sesepuh Madura - turun tangan langsung. Alhamdulillah, akhirnya terselesaikan, tutur tokoh muda yang tinggaldi kawasan HOS Cokroaminoto ini.

Jadi, masalah carok ini bukanlah kultur Madura. Carok, kata dia lebih pas kalau dikatakan merupakan cerminan sikap pelakunya yang menjaga harga diri dan tak mau dilecehkan atau dipermalukan. Berdasar catatan Jawa Pos, beberapa bulan terakhir ini di Sampang dan Bangkalan memang sering terjadi kasus pembunuhan. Ada Kades dibunuh warganya lantaran anaknya dikawinkan dengan pria lain, ada juga lantaran balas dendam, seperti pembunuhan terhadap Mat Sawi, 16 tahun, remaja asal Desa Serambeh, Kecamatan Proppo, Pamekasan. Madholi nekat membunuh korban, karena Pak Sin, ayahnya, 20 tahun lalu, dibunuh H Wahab yang juga kakek Mat Sawi. Kasus pembunuhan seperti ini biasanya orang awam mengatakan korban mati dicarok. Padahal, menurut Drs Suroso dari LP3M (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Madura), pengertian itu amat menyimpang dari arti dan makna carok. "Sebab", kata dia. "Arti carok itu sendiri adalah persambungan diri sebagai komunikasi akhir dengan mempergunakan senjata tajam yang berupaya menjatuhkan lawan masing-masing untuk merebutkan sosial prestise sabagai imbalan dari simpanan tekanan perasaan yang dimiliki masing-masing pelaku. Jadi carok itu perkelahian satu lawan satu atau kelompok lawan kelompok. Waktunya direncanakan bersama dan membawa senjata serta tidak ada wasit.

Mengapa mereka melakukan carok? Masyarakat Madura mempunyai pandangan adat bahwa carok itu lambang kepahlawanan dan kebanggaan. "Pelaku carok bermaksud menghilangkan aib akibat pola tingkah laku seseorang yang mungkin dianggap mencemarkan martabat harga diri keluarga dan pribadi.

3 komentar:

Nurul Fitria Ningsih mengatakan...

Setuju denga artikelnya. Suku madura sebenarnya sama dengan suku yang lainnya, namun satu hal yang berbeda adalah orang madura tidak mau digarai, istilahnya jika kita berbuat baik, mereka akan membalasnya dengan baik pula, tapi jika mereka melakukan hal kejahatan, mereka akan membalanya dengan jahat pula, seperti pada kasus ddengan suku dayak beberapa waktu lalu. Dan budaya carok sebenarnya bukanlah budaya madura, melainkan suatu reaksi atas suatu sikap tertentu...

Laili Itu Saia, 093654020 mengatakan...

woowww serammm!!! prosess mempertahankan harga diri yang ujung-ujungnya di bayar kematian,. tp apa budaya carok sampai saat ini msh eksis d madura?? ato hanya d daerah pelosok madura saja???

Rina Mardiyanti mengatakan...

Nurul F : Ya benar bgt tuh ning....
Laili : carok bukanlah suatu budaya madura, itu merupakan suatu angggapan yang salah jika carok dianggap suatu budaya madura...
kalau saat ini sih,carok itu terkadang masih dilakukan di daerah pelosok atau masyarakat pedesaan..Namun, kalu di daerah perkotaannya, sudah tidak ada lagi masalah carok..

Posting Komentar